Warga Turki adalah warga kedua di Jerman yang banyak saya temui setelah masyarakat lokal, Jerman. Warga lainnya masih ada dari pecahan negara Rusia dan Asia (Thailand, Vietnam, China) serta lainnya.
Dari mengenal mereka, saya jadi tahu adat dan budaya yang berbeda itu menarik dan unik. Salah satunya bagaimana wanita Turki merasa bahagia melepas masa lajangnya pada acara Henna Abend. Ini mengingatkan saya pada masa Midodareni yang diselenggarakan pada pernikahan masyarakat Jawa. Satu hari sebelum akad nikah, hari H.
Apa yang menarik dari Henna Abend ini? Hujan emasssss!
Mempelai saat Henna Abend
***
Undangan dibuat di Turki
Senangnya bukan kepalang. Sepuluh hari sebelum acara Henna Abend, seorang tetangga Turki berambut pirang yang cantiknya seperti boneka itu, mendatangi rumah saya. Mengantar undangan cantik berwarna coklat dengan tulisan berbahasa Turki. Karena saya sedang di Universitas Konstanz dalam rangka bedah buku “38 Wanita Indonesia Bisa“, si gadis (waktu itu) menerangkan pada suami saya, apa makna dua undangan (satu sepanjang amplop ukuran panjang dan satunya seukuran kartu nama). Saya baca kartunya, ada tulisan printed in Turki. Tanya kenapa? Lebih murah daripada di Jerman! Dan tentu, biar tidak salah-salah kalimatnya.
Yang kecil adalah undangan untuk Henna Abend di kampung kami (tempat saya dan dia bermukim), di sebuah balai kota. Yang besar adalah undangan untuk resepsi pernikahan di Stuttgart. Mengapa jauh sekali? Butuh satu satu setengah jaman untuk ke sana. Rupanya, ini disebabkan oleh pernikahan Turki, penyelenggaranya pihak laki-laki. Wah, enak ya, semua yang menanggung, mereka? Haha… berbeda dengan pernikahan ala Jawa kami, yang semua ditanggung orang tua saya. Untung sekarang saya bisa membalas, menggesek kartu suami sebagai salah satu dari pihak laki-laki. Aha.
Menari sampai pagi
Pada undangan tertulis; saat: 17.00. Jadi, kami datang jam lima sore. Kedua orang tua mempelai, sudah menyambut kami. Kami salami mereka. Orang tua yang laki-laki berdampingan, teman saya (ibu dari mempelai perempuan) berdiri di sebelah mertua perempuan. Kami berciuman pipi tiga kali. Ini adat orang sana. Kalau di Indonesia kayaknya dua kali ya?
Kedua orang tua mempelai, manghayubagya tamu, tanpa seragam.
Semprotan minyak dan permen yang dibagikan ke tamu.
Hidangan di meja, buah dan minuman bersoda
Camilan harga satu euroan, nyam-nyam
Ayam goreng, roti dan salat dibagikan pukul 20.30.
Nah, teman saya itu menyemprotkan minyak wangi di tangan saya sebagai welcoming. Karena dahulu sudah dikasih tahu caranya, sayapun mengusap-usapkan pada kedua telapak tangan saya. Di antara kami berempat, entah mengapa hanya saya yang dapat. Suami dan anak-anak tidak.
Kami memasuki ruangan, tamu sudah pada duduk rapi di jajaran kursi bermeja panjang. Dari tiga ratusan orang hanya 4 orang Jerman (2 orang lansia, suami saya dan dua anak saya-yang separo Jerman saja). Panggung tampak memerah dengan gordin yang dipasang. Sementara bawahnya ada kain putih. Di sebelah kanan, adalah singgasana mempelai perempuan. Kalau di pernikahan kami dahulu, kiri kanan adalah untuk kedua orang tua, waktu itu, justru untuk pendamping pengantin (bukan untuk orang tua). Seperti pernikahan barat yang butuh pembawa cincin? Entahlah, mau tanya-tanya telinga tak bisa dengar lantaran musiknya seperti dangdutan kencang sekali bunyinya.
Setengah jam kemudian, pemusik mulai memainkan alat musik. Sebuah keyboard, sebuah kendang dan sebuah bedug. Ya, ampuuuun. Seru!
Setengah jam kemudian, tamu dipersilahkan joget. Waduh, semua tamu yang kebanyakan berhak tinggi berbaju seksi itu, menari dengan gerakan khas tarian kelompok masyarakat Turki. Bergandengan, bergeser ke kekanan, gerakan di tempat, maju ke depan dan ke belakang dan seterusnya. Teriakan ala Zena, the princess warrior (elelelelelelelelelele ….) sesekali dibunyikan, sebagai tanda, para perempuan menikmati. Bagi mereka yang malu untuk meneriakkannya, biasanya menutupi mulut dengan salah satu tangan.
Seorang teman dekat saya tanya mengapa tidak menari, jawabnya, “Kaki saya sedang sakit. Hak setinggi 12 cm ini menyiksaku.“ Meskipun menyiksa, hak tinggi memang banyak disukai wanita untuk dipakai saat pesta atau kerja. Keluhan seperti ibu jari sakit, punggung senut-senut atau tungkak lecet, sudah bukan hal yang asing dan diterjang ….
Semua membentuk setengah lingkaran
Menari sampai gila eh pagi …
Suami dan anak-anak ikut joget.
Saya pandangi satu persatu wanita yang menari itu. Gaunnya bagus-bagus, warna-warni dan seksi. Sedangkan wajah eksotik mereka amat cantik menawan hati. Ingin rasanya menari bersama mereka. Tapi saya digondeli dua anak gadis. Ya, sudah motret sajalah. Toh, tadi sudah menari bersama papanya sebentar, saat menari untuk pasangan, bukan untuk grup, dalam setengah lingkaran.
Saya sedang mikir, kapan rangkaian bunga dan kartu ucapan berisi uang dari kami pantas diserahkan pada orang tua atau mempelai. Ternyata seorang kawan mencertikan, pada resepsi nanti bukan sekarang. Oh, makanya tak ada orang yang kasih kado malam itu. Hanya cipika-cipiki.
Hujan emas
Dua jam setengah kemudian, kedua mempelai hadir di ruangan, menuju pelaminan. Tamu-tamu bertepuk tangan. Gaun merah berhias bordir indah sekali. Buatan asli Turki. Selain memang lebih percaya, katanya memang lebih murah menjahitkannya. Pas di badan, karena biasa ukuran di Jerman besar-besaaaaar.
Singgasana putih pengantin
Pengantinnya datang.
Pengantin berdansa berdua saja.
Memainkan Musik tradisional di panggung untuk semua.
Kenapa lilin lupa nyalaaa?
Pengantin foto bersama Barbie eh teman dekat.
Entah mengapa, pada dasarnya, Henna Abend adalah malam khusus untuk wanita, sepeti diceritakan tetangga saya lewat telepon beberapa hari sebelumnya. Dan pengantin lelaki biasanya meninggalkan ruangan bersama kawan-kawannya untuk merayakan di tempat lain. Sedangkan pada malam itu, ada banyak lelaki yang hadir. Barangkali ini disesuaikan dengan jaman modern. Tidak tahu. Lupa tanya lagi. Bising. Mungkin untuk penghematan, tak perlu tempat lain lagi bagi para pria itu.
Pasangan pengantin menari. Biasanya lampu dimatikan dan lilin dinyalakan untuk menambah suasana romantis saat mereka berdansa. Tapi tidak tahu ya, kok itu tidak, barangkali lupa. Lilin tetap utuh di meja. Tak berapa lama, para tamu menyusul menari. Dan lantai dansa pun penuh.
Empat tahunan yang lalu, masa pertama kali mengenal satu demi per satu warga Turki di Jerman, saya diberitahu tentang harta emas yang dimiliki para wanitanya. Itu adalah mahar pihak pria dari pernikahan. Ada yang dapat lantakan sekian kg, ada yang 2 meter kalung, barangkali 1 kg? Saya yang dibagi cerita, ngilerrrr … saya hanya dapat emas, cincin kawin. Emas lainnya, ya mas yang menikahi saya itu. Mas Bagus … Hehe. Sudah ukurannya segaban, tetap utuh sampai hari ini. Mantab.
***
Namanya saja Henna Abend. Di malam ini ada acara pemberian Henna, warna alami pada mempelai wanita. Henna di tengah-tengah telapak tangan bagian dalam. Henna biasanya dari bubuk alami warna hijau yang dicampur air. Nah, pemberiannya oleh orang yang dituakan, menandakan bahwa ini akhir dari sepenggal kehidupan dan mempersiapkan penggalan lainnya. Henna, pembawa keberuntungan.
Setelahnya, mertua akan memberikan emas. Dan tradisi unik pada hari itu adalah ditutupinya kepala mempelai perempuan dengan kain merah berpayet. Henna Abend adalah sebuah masa wanita Turki melepas masa lajang dan simbol meninggalkan rumah orang tua. Biasanya disertai isak tangis atau tawa bahagia. Meskipun lagu atau musik yang dialunkan memilukan, orang tidak akan tahu ekspresi si pengantin perempuan. Entahlah, barangkali karena tak tega memandang kesedihan wanita berlinang air mata atau tak mau tahu bagaimana gembiranya si gadis boleh meninggalkan rumah orang tuanya. Akhirnya … “Horeeee! Aku bebas. Besok aku boleh keluar dari rumah“ (G76).
Dari mengenal mereka, saya jadi tahu adat dan budaya yang berbeda itu menarik dan unik. Salah satunya bagaimana wanita Turki merasa bahagia melepas masa lajangnya pada acara Henna Abend. Ini mengingatkan saya pada masa Midodareni yang diselenggarakan pada pernikahan masyarakat Jawa. Satu hari sebelum akad nikah, hari H.
Apa yang menarik dari Henna Abend ini? Hujan emasssss!
Mempelai saat Henna Abend
***
Undangan dibuat di Turki
Senangnya bukan kepalang. Sepuluh hari sebelum acara Henna Abend, seorang tetangga Turki berambut pirang yang cantiknya seperti boneka itu, mendatangi rumah saya. Mengantar undangan cantik berwarna coklat dengan tulisan berbahasa Turki. Karena saya sedang di Universitas Konstanz dalam rangka bedah buku “38 Wanita Indonesia Bisa“, si gadis (waktu itu) menerangkan pada suami saya, apa makna dua undangan (satu sepanjang amplop ukuran panjang dan satunya seukuran kartu nama). Saya baca kartunya, ada tulisan printed in Turki. Tanya kenapa? Lebih murah daripada di Jerman! Dan tentu, biar tidak salah-salah kalimatnya.
Yang kecil adalah undangan untuk Henna Abend di kampung kami (tempat saya dan dia bermukim), di sebuah balai kota. Yang besar adalah undangan untuk resepsi pernikahan di Stuttgart. Mengapa jauh sekali? Butuh satu satu setengah jaman untuk ke sana. Rupanya, ini disebabkan oleh pernikahan Turki, penyelenggaranya pihak laki-laki. Wah, enak ya, semua yang menanggung, mereka? Haha… berbeda dengan pernikahan ala Jawa kami, yang semua ditanggung orang tua saya. Untung sekarang saya bisa membalas, menggesek kartu suami sebagai salah satu dari pihak laki-laki. Aha.
Menari sampai pagi
Pada undangan tertulis; saat: 17.00. Jadi, kami datang jam lima sore. Kedua orang tua mempelai, sudah menyambut kami. Kami salami mereka. Orang tua yang laki-laki berdampingan, teman saya (ibu dari mempelai perempuan) berdiri di sebelah mertua perempuan. Kami berciuman pipi tiga kali. Ini adat orang sana. Kalau di Indonesia kayaknya dua kali ya?
Kedua orang tua mempelai, manghayubagya tamu, tanpa seragam.
Semprotan minyak dan permen yang dibagikan ke tamu.
Hidangan di meja, buah dan minuman bersoda
Camilan harga satu euroan, nyam-nyam
Ayam goreng, roti dan salat dibagikan pukul 20.30.
Nah, teman saya itu menyemprotkan minyak wangi di tangan saya sebagai welcoming. Karena dahulu sudah dikasih tahu caranya, sayapun mengusap-usapkan pada kedua telapak tangan saya. Di antara kami berempat, entah mengapa hanya saya yang dapat. Suami dan anak-anak tidak.
Kami memasuki ruangan, tamu sudah pada duduk rapi di jajaran kursi bermeja panjang. Dari tiga ratusan orang hanya 4 orang Jerman (2 orang lansia, suami saya dan dua anak saya-yang separo Jerman saja). Panggung tampak memerah dengan gordin yang dipasang. Sementara bawahnya ada kain putih. Di sebelah kanan, adalah singgasana mempelai perempuan. Kalau di pernikahan kami dahulu, kiri kanan adalah untuk kedua orang tua, waktu itu, justru untuk pendamping pengantin (bukan untuk orang tua). Seperti pernikahan barat yang butuh pembawa cincin? Entahlah, mau tanya-tanya telinga tak bisa dengar lantaran musiknya seperti dangdutan kencang sekali bunyinya.
Setengah jam kemudian, pemusik mulai memainkan alat musik. Sebuah keyboard, sebuah kendang dan sebuah bedug. Ya, ampuuuun. Seru!
Setengah jam kemudian, tamu dipersilahkan joget. Waduh, semua tamu yang kebanyakan berhak tinggi berbaju seksi itu, menari dengan gerakan khas tarian kelompok masyarakat Turki. Bergandengan, bergeser ke kekanan, gerakan di tempat, maju ke depan dan ke belakang dan seterusnya. Teriakan ala Zena, the princess warrior (elelelelelelelelelele ….) sesekali dibunyikan, sebagai tanda, para perempuan menikmati. Bagi mereka yang malu untuk meneriakkannya, biasanya menutupi mulut dengan salah satu tangan.
Seorang teman dekat saya tanya mengapa tidak menari, jawabnya, “Kaki saya sedang sakit. Hak setinggi 12 cm ini menyiksaku.“ Meskipun menyiksa, hak tinggi memang banyak disukai wanita untuk dipakai saat pesta atau kerja. Keluhan seperti ibu jari sakit, punggung senut-senut atau tungkak lecet, sudah bukan hal yang asing dan diterjang ….
Semua membentuk setengah lingkaran
Menari sampai gila eh pagi …
Suami dan anak-anak ikut joget.
Saya pandangi satu persatu wanita yang menari itu. Gaunnya bagus-bagus, warna-warni dan seksi. Sedangkan wajah eksotik mereka amat cantik menawan hati. Ingin rasanya menari bersama mereka. Tapi saya digondeli dua anak gadis. Ya, sudah motret sajalah. Toh, tadi sudah menari bersama papanya sebentar, saat menari untuk pasangan, bukan untuk grup, dalam setengah lingkaran.
Saya sedang mikir, kapan rangkaian bunga dan kartu ucapan berisi uang dari kami pantas diserahkan pada orang tua atau mempelai. Ternyata seorang kawan mencertikan, pada resepsi nanti bukan sekarang. Oh, makanya tak ada orang yang kasih kado malam itu. Hanya cipika-cipiki.
Hujan emas
Dua jam setengah kemudian, kedua mempelai hadir di ruangan, menuju pelaminan. Tamu-tamu bertepuk tangan. Gaun merah berhias bordir indah sekali. Buatan asli Turki. Selain memang lebih percaya, katanya memang lebih murah menjahitkannya. Pas di badan, karena biasa ukuran di Jerman besar-besaaaaar.
Singgasana putih pengantin
Pengantinnya datang.
Pengantin berdansa berdua saja.
Memainkan Musik tradisional di panggung untuk semua.
Kenapa lilin lupa nyalaaa?
Pengantin foto bersama Barbie eh teman dekat.
Entah mengapa, pada dasarnya, Henna Abend adalah malam khusus untuk wanita, sepeti diceritakan tetangga saya lewat telepon beberapa hari sebelumnya. Dan pengantin lelaki biasanya meninggalkan ruangan bersama kawan-kawannya untuk merayakan di tempat lain. Sedangkan pada malam itu, ada banyak lelaki yang hadir. Barangkali ini disesuaikan dengan jaman modern. Tidak tahu. Lupa tanya lagi. Bising. Mungkin untuk penghematan, tak perlu tempat lain lagi bagi para pria itu.
Pasangan pengantin menari. Biasanya lampu dimatikan dan lilin dinyalakan untuk menambah suasana romantis saat mereka berdansa. Tapi tidak tahu ya, kok itu tidak, barangkali lupa. Lilin tetap utuh di meja. Tak berapa lama, para tamu menyusul menari. Dan lantai dansa pun penuh.
Empat tahunan yang lalu, masa pertama kali mengenal satu demi per satu warga Turki di Jerman, saya diberitahu tentang harta emas yang dimiliki para wanitanya. Itu adalah mahar pihak pria dari pernikahan. Ada yang dapat lantakan sekian kg, ada yang 2 meter kalung, barangkali 1 kg? Saya yang dibagi cerita, ngilerrrr … saya hanya dapat emas, cincin kawin. Emas lainnya, ya mas yang menikahi saya itu. Mas Bagus … Hehe. Sudah ukurannya segaban, tetap utuh sampai hari ini. Mantab.
***
Namanya saja Henna Abend. Di malam ini ada acara pemberian Henna, warna alami pada mempelai wanita. Henna di tengah-tengah telapak tangan bagian dalam. Henna biasanya dari bubuk alami warna hijau yang dicampur air. Nah, pemberiannya oleh orang yang dituakan, menandakan bahwa ini akhir dari sepenggal kehidupan dan mempersiapkan penggalan lainnya. Henna, pembawa keberuntungan.
Setelahnya, mertua akan memberikan emas. Dan tradisi unik pada hari itu adalah ditutupinya kepala mempelai perempuan dengan kain merah berpayet. Henna Abend adalah sebuah masa wanita Turki melepas masa lajang dan simbol meninggalkan rumah orang tua. Biasanya disertai isak tangis atau tawa bahagia. Meskipun lagu atau musik yang dialunkan memilukan, orang tidak akan tahu ekspresi si pengantin perempuan. Entahlah, barangkali karena tak tega memandang kesedihan wanita berlinang air mata atau tak mau tahu bagaimana gembiranya si gadis boleh meninggalkan rumah orang tuanya. Akhirnya … “Horeeee! Aku bebas. Besok aku boleh keluar dari rumah“ (G76).
Posting Komentar