BREAKING

Kamis, 18 Agustus 2011

6 MITOS TENTANG UKURAN PENIS

Alat kelamin pria atau penis selain sebagai lambang keperkasaan juga sering bikin para pria kurang percaya diri karena berbagai mitos yang berbedar. Nah, biar nggak salah info dan supaya lebih banyak tahu berbagai info seputar alat kelamin pria. Baca dulu artikel ini.

Mitos 1: Merasa Penisnya Kecil
Para pria seringkali tak hanya mengharapkan penisnya berfungsi dengan baik, tapi juga berharap ukuran alat kelaminnya itu cukup besar dibanding teman-temannya. Alat kelamin yang lebih besar membuat pria lebih percaya diri, terutama ketika harus menjalankan salah satu fungsinya, berhubungan seksual. Sayangnya, para pria kerap membandingkan ukuran penisnya ketika berganti baju bersama teman-teman di gym atau membandingkan dengan aktor film porno. Cara melihat seperti itu membuat penis terlihat lebih kecil. Jika ingin melihat ukuran penis yang sebenarnya, berdirilah di depan kaca dan kemungkinan penis akan terlihat lebih besar ketimbang pada saat melihat penis teman di ruang ganti. Tentang aktor film porno, jangan menjadikan mereka acuan. Aktor film porno bisa dikatakan memiliki ukuran penis di luar rata-rata. Ukuran semacam itu hanya dimiliki oleh sedikit sekali pria.

Mitos 2: Wanita Menyukai Penis yang Panjang
Sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu. Beberapa wanita memang menyukai penis yang lebih panjang, tapi sebagian besar wanita tak ambil pusing tentang ukuran penis. Selama ini para pria berpikir penis yang lebih panjang adalah penis yang lebih baik. Menurut Peniswebsite, logika di atas mungkin muncul karena pria menganggap penis yang panjang dan besar akan memberikan kepuasan lebih terhadap wanita. Logika ini memang tak sepenuhnya salah. Tapi ketika berhubungan seks, wanita tak hanya mencari kepuasan fisik semata. Para wanita juga mencari getaran emosional, perasaan dicintai, merasa diperlakukan spesial, dihargai, dan keintiman dengan partnernya. Pernyataan ini bukanlah kecapan kata semata. Kesimpulan ini diambil dari diskusi komunitas wanita yang berlangsung di internet.

Mitos 3: Penis Besar Adalah Penis yang Baik
Dalam sebuah survey terhadap komunitas wanita, Peniswebsite mengatakan wanita lebih menyukai penis yang tebal ketimbang penis yang panjang. Menurut beberapa wanita dalam survey ini, penis yang panjang cenderung mengakibatkan rasa sakit ketika sedang berhubungan seksual. Masih dari survey yang sama, penis yang tidak terlampau panjang namun tebal, lebih digemari karena mampu menyentuh g-spot wanita yang berada sekitar 1 inci dari mulut vagina.


Mitos 4: Pria Lebih Perkasa Jika Punya Penis Besar
Sebenarnya yang membangun anggapan itu adalah para pria sendiri. Tidak ada fakta apapun yang membuktikan bahwa sifat jantan dan kelaki-lakian seorang pria berhubungan dengan ukuran penisnya. Sifat-sifat yang membuat pria lebih jantan dan dihargai wanita antara lain, kemampuan untuk menjadi ayah bagi seorang anak, kekuatan karakter untuk menjadi contoh yang baik bagi keluarga dan masyarakat, kepedulian terhadap sekitar, bisa membuat rencana hidup yang bermakna, dan kemampuan untuk menetapkan pendirian dan idealisme hidup. Hal-hal, seperti itulah yang akan membuat pria lebih dihargai masyarakat dan disukai wanita ketimbang hanya memiliki penis besar dan tidak memiliki nilai-nilai tadi.


Mitos 5: Penis Besar Membuat Hubungan Seksual Lebih Lama
Hmm, sepertinya itu salah besar. Lama atau tidaknya hubungan seksual tergantung oleh banyak hal. Ukuran penis tidak termasuk salah satunya. Obat paling utama dari ejakulasi dini adalah kepercayaan diri, hubungan yang harmonis dengan pasangan, menghilangkan rasa takut dan bersalah ketika berhubungan seksual, dan komunikasi yang terbuka dengan pasangan.


Mitos 6: Penis Orang Asia Lebih Kecil
Mitos yang terakhir ini tidak sepenuhnya salah karena pertumbuhan badan seseorang memang dipengaruhi oleh faktor genetik. Rata-rata ukuran penis orang berkulit hitam, lebih besar sekitar 1,5 sampai 3 cm dibanding ras kulit putih (kaukasia). Sedangkan penis laki-laki Asia, lebih kecil sekitar 1,5 sampai 3 cm dari ras kulit putih. Ukuran testis masing-masing ras ini tentu saja berbeda sebanding dengan ukuran penisnya. Tapi perbedaan ini bukanlah tanpa sebab. Karena ternyata perbandingan ukuran vagina wanita Asia juga lebih kecil ketimbang ras lainnya.
Berikut ukuran rata-rata penis pria ketika ereksi berdasarkan ras menurut peniswebsite:1. Oriental : Panjang 10,5-14 cmDiameter 3,2 cm2. Kaukasia : Panjang 14-15,5 cmDiameter 4.8 cm 3. Kulit Hitam: Panjang 15,9-20,3 cmDiameter 5 cm

Nah, kesimpulannya ukuran penis pria lebih banyak dipusingkan oleh pria sendiri ketimbang wanita. Hubungan suami-istri yang harmonis bukanlah ditentukan oleh ukuran penis. Indahnya hubungan seks ditentukan langsung oleh kreativitas dan komunikasi masing-masing pasangan.

Jangan terlalu percaya yaa .. namanya juga mitos, Musyrik tau, haghh
Posted by Riduan Rijky at 9:15 PM 0 comments
Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Google Buzz
Gay Pride: Homoseksual Dipicu Lingkungan dan Gaya Hidup

Simetri Otak Homoseksual Sangat Mirip dengan Lawan Jenis
Peneliti Swedia telah menemukan atribut fisis dari otak pria homoseksual, ternyata sangat mirip dengan yang ditemukan pada perempuan. Demikian menurut...
Brainiacs: Homoseksual vs Heteroseksual
Tidak terasa sudah setahun yang lalu saya menulis di Netsains mengenai homoseksualitas. Kali ini memperingati ‘Gay Pride Amsterdam 2008’ yang...

Gay Pride: Homoseksual Dipicu Lingkungan dan Gaya Hidup
AMSTERDAM, Netsains - ‘Gay Pride’ mungkin masih terdengar asing di Indonesia. namun tidak di Belanda.Pria Gay Lebih Mudah Terstimulasi Foto Seksual
Tiga dekade riset terhadap stimulasi seksual pria telah menunjukkan pola orientasi seksual yang jelas. Pria gay lebih mudah terstimulasi secara...
Pemeran Hikaru Sulu Star Trek Diabadikan sebagai Asteroid
Ingin nama Anda diabadikan dalam bentuk objek angkasa luar? Mungkin harus berperan dulu dalam serial fiksi ilmiah kenamaan. Itulah yang...
AMSTERDAM, Netsains - ‘Gay Pride’ mungkin masih terdengar asing di Indonesia. namun tidak di Belanda.merupakan salah satu puncak acara Gay Pride Amsterdam: We are Proud dengan Boat Parade
Yang menarik dari acara ini adalah dibawanya pesan-pesan perdamaian dalam parade yang menarik lebih dari 500.000 orang ini dan hamper 70% adalah kaum homoseksual dan transvestites. Tidak hanya disitu saja, beberapa partai politik, perusahaan internasional hingga kaum peneliti yang biasanya bekerja di lab mulai unjuk gigi.

Terlepas dari semua kontroversi yang ada, Gay Pride Amsterdam sejak tahun 1960 telah membawa kegerakan integrasi kaum homoseksual dalam damai di Eropa melalui acara-acara yang artistik dan melibatkan banyak orang. Cara inilah yang perlu kita contoh untuk membawa perubahan di bumi Indonesia mungkin – tentu saja bukan menjadi homoseksual yang kita contoh.


Pengaruh Keluarga
Saya teringat akan topik riset institut saya di Amsterdam, Netherlands Institute of Neuroscience, mengenai seksualitas dan biologi. Kini diketahui bahwa terdapat beberapa perbedaan biologis antara kaum homoseksual dan heteroseksual, misal anatomi otak (Swaab, 1990; Le-Vay, 1991) dan ekspresi genetik dan metabolik di dalam tubuh mereka (Hamer et al. 1993; Cooke et al. 1999; Kinnunen, Moltz et al. 2004; Berglund, Lindstrom et al. 2006). Tidak berhenti sampai di situ saja, ternyata banyak juga faktor lingkungan yang dapat menyebabkan homoseksualitas seperti kekerasan seksual, sodomi, hingga stres pada ibu hamil (Dörner et al. 1988; Ellis et al. 1998 & 1990).

Faktor lingkungan ternyata menyangkut bagaimana seorang anak dibesarkan. Orang tua ternyata menentukan seksualitas anak-anaknya. Penelitian di awal abad ke-20 oleh Sigmund Freud. Beliau mengungkapkan teori Oedipal Phase (1957) yang hingga kini belum termentahkan. Menurutnya, seorang laki-laki dapat menjadi seorang ‘gay’ bila memiliki hubungan yang terlalu erat dengan ibunya atau kurangnya atau hilangnya figur kebapakan dalam keluarga hingga bapak yang terlalu disiplin hingga memunculkan kebencian pada lali-laki secara umum.

Hal ini berlaku terbalik pada kasus perempuan lesbian dimana posisi ibu hilang atau terlalu disiplin dan ayah yang terlalu dekat dengan anak perempuannya ((Bell, Weinberg et al. 1981; Freund and Blanchard 1983). Sebagian besar kaum psikolog dan psikiatri percaya bahwa hal ini adalah “penyebab” utama homoseksualitas yang baru kemudian mengubah proses biologis dalam tubuh (Bogaert, 2006).


Gaya Hidup
Bila kita lihat gaya hidup masyarakat dunia, khususnya Indonesia, tidak mengherankan bila jumlah kaum homoseksualitas akan terus meningkat tiap tahunnya. Tuntutan karir dan gaya hidup metropolitan telah memaksa para orang tua kehilangan waktu dengan dengan anak-anaknya. Anak-anak pun mulai kehilangan figur bapak dan atau ibu. Efektivitas “waktu keluarga” nampak sangat penting di sini.

Gay Pride Amsterdam: We are Proud, telah menjadi indikator seberapa banyak “korban” gaya hidup metropolitan zaman modern di Eropa. Sebelum lebih terlambat di Indonesia, ada baiknya kita introspeksi. Seberapa baikkah hubungan orang tua dengan anak-anaknya? Bagi orang tua yang tidak ingin anak-anaknya menjadi homoseksual maka sudah sepatutnya kita memperhatikan “waktu keluarga” yang kita miliki. Mungkin Belanda perlu mengubah topik Gay Pride tahun depan menjadi Gay Pride Amsterdam: We are Proud (?) Apakah kita perlu bangga melihat bukti-bukti dari banyaknya anak-anak yang kurang kasih sayang?

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 AZKA TRIMBELL
Design by FBTemplates | BTT